Ketika Selembar Pangeran Antasari Begitu Berarti
Saya Fasih Dwi Yuani, guru SM-3T Angkatan IV
penempatan tugas di SD Negeri Gulung. Sekolah ini terletak di Desa Pong Leko,
kecamatan Ruteng. Jarak sekolah sampai kota kecamatan (Cancar) kurang lebih 7
KM. Sekolah ini benar-benar di atas bukit, untuk mencapai sekolah harus jalan
kaki sekitar 7-10 menit menaiki bukit terjal karena jalan aspal tak sampai ke
sekolah.
Berbeda di sekolah kota tempat saya mengajar di
Jawa, pemandangan di sini sungguh miris, seragam kumal, compang-camping, sandal
jepit, tas plastik tempat buku dan alat tulis selalu mengiringi mereka ke
sekolah setiap hari, dari 106 siswa hanya beberapa dari mereka yang memiliki
tas sekolah, itupun dengan kondisi yang mengenaskan, penuh jahit tangan di
sana-sini.
Tak ada raut malu sedikitpun dengan kondisi seragam
bolong bagian ketiak dan leher, mereka tetap meringis polos ketika mengucapkan
“Selamat Pagi, Bu…” sambil malu-malu menatapku.
Sungguh ironis, ketika melihat pemandangan ini.
Sekolah dengan segala fasilitas yang terbatas, tak ada listrik, air pun harus
menimba di bawah bukit, ada perpustakaan namun tak ada buku.
Pertama mengajar di SD Negeri Gulung, saya merasa
kesulitan karena tidak adanya buku penunjang untuk siswa. Ternyata mereka hanya
mengandalkan buku catatan yang dicatatkan oleh guru kelas mereka selama ini.
Padahal, kurikulum 2013 harus diterapkan pada tahun 2014, sementara siswa sama
sekali tidak mendapat buku kurikulum 2013 karena keterlambatan distribusi (buku
kurikulum 2013, ada buku untuk pegangan siswa dan guru). Akhirnya, untuk
sementara waktu saya ajarkan mereka dengan kurikulum KTSP sampai buku tersebut
sampai.
Suatu hari, saya dikte mereka untuk mencatat
pelajaran agar lebih hemat waktu, daripada saya harus menuliskannya di papan
tulis. Tiba-tiba satu siswa saya yang bernama Gordianus Sanggu memanggil saya
dengan nada lirih.
“Ibu…”
“Iya, ada apa Gordi?” tanyaku sambil tersenyum
“Saya tidak bisa mencatat karena buku saya habis”
katanya terbata-bata
“Ya sudah tidak apa-apa, kamu dengarkan saja
penjelasan ibu, besok beli buku yang baru, kamu pinjam catatan punya temanmu
ya..”
“Tapi saya sudah tidak punya uang untuk membeli buku
ibu” jawabnya sambil menatapku
Mendengar jawabannya aku tersentak kaget, “Iya kah??
Berapa harga buku di sini?”
“Ada yang 1000 tapi tipis, kalau yang 2000 lebih
banyak ibu” kata Ensi, salah seorang siswa lain.
Aku hampir menangis dibuatnya, Ya Allah… uang 1000-2000
rupiah, di Jawa sama sekali tidak ada artinya, tetapi di sini sangat berarti
untuk membeli sebuah buku tulis. Perlu diketahui, siswaku ini seorang anak usia
16 tahun, yang masih duduk di bangku kelas 5 SD, bertubuh paling besar diantara
teman-temannya tapi tekad belajarnya masih membara. Belakangan saya tahu, dia
sering tidak naik kelas, mungkin karena dia salah satu anak berkebutuhan khusus,
membacanya masih terbata-bata persis seperti anak kelas 1 SD, tapi jangan dikira
kalau pelajaran matematika, dia cepat menghitung.
Sampai rumah aku beli buku tulis satu pak, walaupun
tidak seperti kualitas buku tulis di Jawa, kertas buku tulis di sini lebih tipis,
bergambar artis-artis dan pemain sepak bola. Tak apa, karena hanya ada ini di
toko dekat rumah, tidak ada yang menjual buku tulis merk SIDU atau KIKY.
Sebenarnya, bukan hanya satu siswaku ini yang masuk golongan sangat tidak
mampu, ada juga siswaku dia pintar, rajin walaupun dia miskin. Aku bermaksud
memberinya buku, dengan caraku… tidak langsung serta merta memberinya buku,
namun dengan permainan edukatif berhadiah buku, dan Alhamdulillah anak-anak lebih termotivasi untuk belajar.
Di mata pelajaran SBDP (dulunya Seni Budaya dan
Keterampilan), kutanya mereka materi apa yang biasanya mereka dapatkan,
ternyata mereka hanya menyanyi dan berlatih dirigen.
Lalu kutanya lagi “Apakah kalian pernah menggambar?”
Mereka bilang tidak pernah, dan mirisnya lagi hanya 2 dari 16 orang saja yang mengaku
memiliki pensil.
Saat ibuku telfon menanyakan kabar, aku bilang
baik-baik saja, lalu kuceritakan semua keterbatasan siswa-siswaku sambil
menangis via telfon, akhirnya 2 minggu kemudian datanglah paket besar dari rumah,
salah satu isinya pensil 2B satu kotak besar dan penghapus satu pak kiriman
dari bapak di rumah. Terimakasih Bapak, ini benar-benar membantu.
Saat pelajaran matematika pun mereka tak punya
penggaris, pada akhirnya aku membelikan mereka penggaris agar mereka bisa
mengikuti pelajaran bidang koordinat dan bangun datar, bangun ruang.
***
Tepat pada tanggal 28 September 2014, saat rapat
koordinasi LPTK Unnes di Desa Cancar dengan agenda pembahasan rapat rencana
pelaksanaan program kecamatan dan program kabupaten, masing-masing dari koordinator
kecamatan menyampaikan rencana program kecamatannya untuk dilaksanakan selama
satu tahun. Saat itu, aku mengusulkan program Pembagian Paket Alat Sekolah
untuk program kabupaten kami, dengan berbagai macam alasan, salah satunya
adalah pengalaman saya mengajar murid saya di SD Negeri Gulung, Alhamdulillah, semua sepakat untuk
menjadikan program itu ssebagai program kabupaten, hingga akhirnya LPTK
Universitas Negeri Semarang sepakat untuk bekerjasama menggalang dana dengan
LPTK Universitas Negeri Malang dibawah naungan SM-3T karena kami satu tujuan.
Walaupun program ini tercetus pada bulan September
2014, pada akhirnya baru mulai terlaksana pada bulan Februari 2015 karena
terkendala pelaksanaan program lain di masing-masing kecamatan. Selain itu,
kami juga harus mempersiapkannya secara matang, agar struktur organisasi jelas,
publikasi luas, pembagian tugas jelas, serta survey sekolah yang tepat sasaran sehingga diharapkan program ini
dapat berjalan dengan sukses dan memberikan dampak positif bagi pendidikan di
Kab. Manggarai.
Selama dua kali kami mengadakan rapat intern
pengurus dan satu kali rapat akbar, hingga akhirnya program ini dinamakan
Peduli Siswa Manggarai bertajuk “Gerakan 1000 paket Alat Sekolah untuk
Anak-anak di Pedalaman Kab. Manggarai, Nusa Tenggara Timur”. Sekitar kurang
lebih 1400 Paket Alat Sekolah di 13 sekolah penerima bantuan telah berhasil
kami salurkan.
Hingga cerpen ini saya tulis, pembagian paket masih
terus berlangsung, kurang dua sekolah lagi yang belum terlaksana. Karena sebentar
lagi kami purna tugas, akhirnya program ini ditutup untuk sementara waktu sampai
ada SM-3T angkatan selanjutnya, semoga mereka bisa terus meneruskan perjuangan
kami. Mengenai publikasi penutupan rekening Peduli Siswa Manggarai, kami telah mengumumkannya
via Fanpage Facebook maupun di Blog.
Kini, aku sedikit tenang, anak-anak SD Gulung dan SD
lain sudah memiliki peralatan tulis lengkap, buku pelajaran yang menghiasi
rak-rak perpustakaan. Terimakasih Indonesia, terimakasih atas donasinya. Semoga
cerita ini bisa jadi inspirasi semua kalangan, karena pendidikan tidak dapat
lepas dari tanggung jawab kita bersama.
“Tanggung jawab pendidikan tidak hanya ada pada
pemerintah saja, tetapi orangtua, masyarakat dan pihak swasta juga harus ikut
berpartisipasi, hal ini selaras dengan jargon kami SM-3T, Maju Bersama
Mencerdaskan Indonesia”
-Fasih Dwi Yuani-
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
SM-3T Angkatan IV Kab. Manggarai, Nusa Tenggara
Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar