Kami adalah peserta SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) angkatan 4 dari LPTK Universitas Negeri Semarang dan Universitas Negeri Malang, yang ditempatkan di kabupaten Manggarai, provinsi Nusa Tenggara Timur. Selama satu tahun pengabdian kami di tanah Manggarai, banyak sekali permasalahan pendidikan yang kami temui di daerah tempat dimana kami tinggal. Infrastruktur yang belum memadai, dan sumber daya manusia yang rendah telah menambah potret suram pemerataan pendidikan di daerah 3T. Pendidikan yang ada di tanah Manggarai sungguh berbeda dengan apa yang biasa kami temukan di pulau Jawa. Kami di sini berusaha untuk memajukan pendidikan bersama dengan peserta yang lain melalui program SM3T, sesuai dengan slogan kami "Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia".


Blog ini dibuat untuk menggalang dana bantuan yang akan disalurkan kepada siswa-siswi Manggarai yang membutuhkan uluran tangan kita melalui program Peduli Siswa Manggarai. kami akan menggalang dana 1000 Paket Alat Sekolah Untuk Anak-Anak Di Wilayah Pedalaman Manggarai, Nusa Tenggara Timur sebagai bentuk kepedulian kami kepada siswa Manggarai.



Untuk lebih jelasnya, silakan klik 1000 PAKET ALAT SEKOLAH

Sabtu, 01 Agustus 2015

Cikal Bakal Program Peduli Siswa Manggarai: Ketika Selembar Pangeran Antasari Begitu Berarti


                                      Ketika Selembar Pangeran Antasari Begitu Berarti

Saya Fasih Dwi Yuani, guru SM-3T Angkatan IV penempatan tugas di SD Negeri Gulung. Sekolah ini terletak di Desa Pong Leko, kecamatan Ruteng. Jarak sekolah sampai kota kecamatan (Cancar) kurang lebih 7 KM. Sekolah ini benar-benar di atas bukit, untuk mencapai sekolah harus jalan kaki sekitar 7-10 menit menaiki bukit terjal karena jalan aspal tak sampai ke sekolah.
Berbeda di sekolah kota tempat saya mengajar di Jawa, pemandangan di sini sungguh miris, seragam kumal, compang-camping, sandal jepit, tas plastik tempat buku dan alat tulis selalu mengiringi mereka ke sekolah setiap hari, dari 106 siswa hanya beberapa dari mereka yang memiliki tas sekolah, itupun dengan kondisi yang mengenaskan, penuh jahit tangan di sana-sini.
Tak ada raut malu sedikitpun dengan kondisi seragam bolong bagian ketiak dan leher, mereka tetap meringis polos ketika mengucapkan “Selamat Pagi, Bu…” sambil malu-malu menatapku.
Sungguh ironis, ketika melihat pemandangan ini. Sekolah dengan segala fasilitas yang terbatas, tak ada listrik, air pun harus menimba di bawah bukit, ada perpustakaan namun tak ada buku.
Pertama mengajar di SD Negeri Gulung, saya merasa kesulitan karena tidak adanya buku penunjang untuk siswa. Ternyata mereka hanya mengandalkan buku catatan yang dicatatkan oleh guru kelas mereka selama ini. Padahal, kurikulum 2013 harus diterapkan pada tahun 2014, sementara siswa sama sekali tidak mendapat buku kurikulum 2013 karena keterlambatan distribusi (buku kurikulum 2013, ada buku untuk pegangan siswa dan guru). Akhirnya, untuk sementara waktu saya ajarkan mereka dengan kurikulum KTSP sampai buku tersebut sampai.
Suatu hari, saya dikte mereka untuk mencatat pelajaran agar lebih hemat waktu, daripada saya harus menuliskannya di papan tulis. Tiba-tiba satu siswa saya yang bernama Gordianus Sanggu memanggil saya dengan nada lirih.
“Ibu…”
“Iya, ada apa Gordi?” tanyaku sambil tersenyum
“Saya tidak bisa mencatat karena buku saya habis” katanya terbata-bata
“Ya sudah tidak apa-apa, kamu dengarkan saja penjelasan ibu, besok beli buku yang baru, kamu pinjam catatan punya temanmu ya..”
“Tapi saya sudah tidak punya uang untuk membeli buku ibu” jawabnya sambil menatapku
Mendengar jawabannya aku tersentak kaget, “Iya kah?? Berapa harga buku di sini?”
“Ada yang 1000 tapi tipis, kalau yang 2000 lebih banyak ibu” kata Ensi, salah seorang siswa lain.
Aku hampir menangis dibuatnya, Ya Allah… uang 1000-2000 rupiah, di Jawa sama sekali tidak ada artinya, tetapi di sini sangat berarti untuk membeli sebuah buku tulis. Perlu diketahui, siswaku ini seorang anak usia 16 tahun, yang masih duduk di bangku kelas 5 SD, bertubuh paling besar diantara teman-temannya tapi tekad belajarnya masih membara. Belakangan saya tahu, dia sering tidak naik kelas, mungkin karena dia salah satu anak berkebutuhan khusus, membacanya masih terbata-bata persis seperti anak kelas 1 SD, tapi jangan dikira kalau pelajaran matematika, dia cepat menghitung.
Sampai rumah aku beli buku tulis satu pak, walaupun tidak seperti kualitas buku tulis di Jawa, kertas buku tulis di sini lebih tipis, bergambar artis-artis dan pemain sepak bola. Tak apa, karena hanya ada ini di toko dekat rumah, tidak ada yang menjual buku tulis merk SIDU atau KIKY. Sebenarnya, bukan hanya satu siswaku ini yang masuk golongan sangat tidak mampu, ada juga siswaku dia pintar, rajin walaupun dia miskin. Aku bermaksud memberinya buku, dengan caraku… tidak langsung serta merta memberinya buku, namun dengan permainan edukatif berhadiah buku, dan Alhamdulillah anak-anak lebih termotivasi untuk belajar.
Di mata pelajaran SBDP (dulunya Seni Budaya dan Keterampilan), kutanya mereka materi apa yang biasanya mereka dapatkan, ternyata mereka hanya menyanyi dan berlatih dirigen.
Lalu kutanya lagi “Apakah kalian pernah menggambar?”
Mereka bilang tidak pernah, dan mirisnya lagi  hanya 2 dari 16 orang saja yang mengaku memiliki pensil.
Saat ibuku telfon menanyakan kabar, aku bilang baik-baik saja, lalu kuceritakan semua keterbatasan siswa-siswaku sambil menangis via telfon, akhirnya 2 minggu kemudian datanglah paket besar dari rumah, salah satu isinya pensil 2B satu kotak besar dan penghapus satu pak kiriman dari bapak di rumah. Terimakasih Bapak, ini benar-benar membantu.
Saat pelajaran matematika pun mereka tak punya penggaris, pada akhirnya aku membelikan mereka penggaris agar mereka bisa mengikuti pelajaran bidang koordinat dan bangun datar, bangun ruang.

***
Tepat pada tanggal 28 September 2014, saat rapat koordinasi LPTK Unnes di Desa Cancar dengan agenda pembahasan rapat rencana pelaksanaan program kecamatan dan program kabupaten, masing-masing dari koordinator kecamatan menyampaikan rencana program kecamatannya untuk dilaksanakan selama satu tahun. Saat itu, aku mengusulkan program Pembagian Paket Alat Sekolah untuk program kabupaten kami, dengan berbagai macam alasan, salah satunya adalah pengalaman saya mengajar murid saya di SD Negeri Gulung, Alhamdulillah, semua sepakat untuk menjadikan program itu ssebagai program kabupaten, hingga akhirnya LPTK Universitas Negeri Semarang sepakat untuk bekerjasama menggalang dana dengan LPTK Universitas Negeri Malang dibawah naungan SM-3T karena kami satu tujuan.
Walaupun program ini tercetus pada bulan September 2014, pada akhirnya baru mulai terlaksana pada bulan Februari 2015 karena terkendala pelaksanaan program lain di masing-masing kecamatan. Selain itu, kami juga harus mempersiapkannya secara matang, agar struktur organisasi jelas, publikasi luas, pembagian tugas jelas, serta survey sekolah yang tepat sasaran sehingga diharapkan program ini dapat berjalan dengan sukses dan memberikan dampak positif bagi pendidikan di Kab. Manggarai.
Selama dua kali kami mengadakan rapat intern pengurus dan satu kali rapat akbar, hingga akhirnya program ini dinamakan Peduli Siswa Manggarai bertajuk “Gerakan 1000 paket Alat Sekolah untuk Anak-anak di Pedalaman Kab. Manggarai, Nusa Tenggara Timur”. Sekitar kurang lebih 1400 Paket Alat Sekolah di 13 sekolah penerima bantuan telah berhasil kami salurkan.
Hingga cerpen ini saya tulis, pembagian paket masih terus berlangsung, kurang dua sekolah lagi yang belum terlaksana. Karena sebentar lagi kami purna tugas, akhirnya program ini ditutup untuk sementara waktu sampai ada SM-3T angkatan selanjutnya, semoga mereka bisa terus meneruskan perjuangan kami. Mengenai publikasi penutupan rekening Peduli Siswa Manggarai, kami telah mengumumkannya via Fanpage Facebook maupun di Blog.
Kini, aku sedikit tenang, anak-anak SD Gulung dan SD lain sudah memiliki peralatan tulis lengkap, buku pelajaran yang menghiasi rak-rak perpustakaan. Terimakasih Indonesia, terimakasih atas donasinya. Semoga cerita ini bisa jadi inspirasi semua kalangan, karena pendidikan tidak dapat lepas dari tanggung jawab kita bersama. 

“Tanggung jawab pendidikan tidak hanya ada pada pemerintah saja, tetapi orangtua, masyarakat dan pihak swasta juga harus ikut berpartisipasi, hal ini selaras dengan jargon kami SM-3T, Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia”
-Fasih Dwi Yuani-
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
SM-3T Angkatan IV Kab. Manggarai, Nusa Tenggara Timur